
SUMBAR, - Sudah berbusa-busa mulut Presiden Jokowi dan Gubernur Sumatera Barat, Buya Mahyeldi menyampaikam agar seluruh pemangku kepentingan membeli produk lokal/daerah dan melibatkan pengusaha lokal/daerah dalam pengadaang barang dan jasa, ternyata realita tidak ada dilaksanakan, produk awak dianak tirikan.
Salah satu informasi terhanyir yang didapat bahwa anggaran perubahan tahun 2022 ini, ada anggaran pembelian mobiler sekolah senilai 8 milyar di Pemerintah Propinsi Sumatera Barat yang didatangkan dari Propinsi Jawa, Kota Surabaya.
Pertanyaannya mengapa mobiler sekolah itu tidak dibuat oleh pengerajin kota Padang, Bukittinggi atau daerah Sijunjung?. Mengapa mobiler tidak produk lokal yang tahan banting?, mengapa, mengapa, itu pertanyaanya.
Andaikan mobiler sekolah itu dibuat didaerah Sumatera Barat, dampak postif banyak, akan terbuka usaha pengerajin daerah Kita, akan berputar ekonomi disektor pertukangan pembuatan mobiler itu, maka banyak dampak positif dari APBD-P tahun 2022 tersebut dirasakan. Namun karena ini dana PoKir tentu intervensinya ada dari pemilikinya.
Penulis sengaja mengangkat isu ini ditengah pembaca, karena banyak keluhan masyarakat, banyak keluhan para pedangan, banyak keluhaan pengusaha lokal mangapa total puluhan triliyunan APBD Kabupaten dan Kota, serta Propinsi tidak bisa dinikmati oleh orang Rana Minang secara full.
Pengusaha di bidang konstruksi misalnya mengeluhkan mengapa para pekerja sektor konstruksi ini tidak berasal dari pengusaha orang awak seperti pengerjaan jalan tol, semua fasilitas, semu peralatan, semua pekerja didatangkan dari luar Sumbar.
Berarti pengusaha lokal hanya sebagai penonton atau sekedar melihat-lihat, lalu pergi dengan hati iba. Ibarat cimeh urang awak "urang mandabiak kabau masak darahnyo see nan tinggaa diawak". Artinya puluhan triliyunan anggaran Propinsi Sumatera Barat hanya dinikmati oleh segelintir orang dan uang dibawa keluar.
Dari catatan Penulis, permasalahan ini akan Penulis angkatkan secara publik melalu diskusi interaktif sekitar bulan Desember 2022 oleh organisasi PII, bahwa implementasi instruksi presiden tentang belanja nagara atau daerah tidak membeli produk lokal atau pelaksanaannya tidak pengusaha lokal.
Dari diskusi tersebut akan nampak berapa persen belanja daerah ini untuk produk lokal, berapa persen dana pokir anggota dewan yang pengadaan barang dan jasanya melibatkan orang lokal/daerah. Atau kita tahun presentasi dampak domino APBD terhadap rakyat Sumbar.
Tidak itu saja nanti akan nampak apakah pejabat Sumatra Barat baik Bupati, Walikota dan lainya pro terhadap kemajuan perusahan lokal dan produk lokal. Penulis selaku Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) memiliki tangung jawab moral produk lokal ini dibeli dan pengusaha daerah jadi raja dinegri sendiri.
Jangan sampai yang punya APBD daerah Propinsi Sumatera Barat, namun yang menikmati hote-hotel dijakarta, produk-produk dari daerah Jawa dan masyarakat Sumatera Barat hanya terkena dampak inflasi yang membuat hidup semakin susah.[*]